Sabtu, 30 Juni 2018

Terlalu Logis Itu Bahaya..

Logis itu bagus, terlalu logis itu nggak bagus.

Saya sendiri sudah menyaksikan berkali kali bahwa orang yang terdidik menjadi terlalu logis hidupnya rata rata mengalami hal yang identik.

Kalau masih sendiri biasanya akan susah menemukan jodoh.

Yang sudah menikah cenderung memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk berpisah.

Cenderung anti sosial dan ngerasa paling bener sendiri, tidak memberikan ruang secara mental bagi orang lain untuk memberikan persepsinya.

Tidak mudah berkomunikasi dengan jenis orang yang terdidik atau berpikir seperti ini. Hingga orang orang cenderung menjauh, termasuk rezeki.

Rezeki, termasuk jodoh dan sahabat, cenderung datang dari orang lain yang merasa nyaman dengan kita. 

Semakin nyaman manusia lain berinteraksi dengan kita, biasanya semakin mudah dan lancar rezeki kita.

Keywordnya adalah rasa nyaman atau kenyamanan. Dan orang orang yang super analitis dan super logis, apalagi yang merasa IQ nya lebih tinggi adalah jenis orang yang sebenarnya merasa kurang nyaman dengan dirinya sendiri. 

Dan ini berimbas pada reaksi orang lain yang merasa mereka ini adalah orang orang yang sengak dan arogan.

Semua ini menjadi penyebab logis kenapa sebagian orang yang amat sangat logis, mengalami kesusahan untuk mengalami kemudahan rezeki, jodoh dan persahabatan.

Solusinya?

Berikan ruang pada hati dan pikiran untuk menjadi lebih imajinatif dan berserah pada Sang Maha Mutlak. Berikan sedikit ruang untuk percaya pada keajaiban. 

Walaupun anda bisa jadi sangat benar dan sangat dataable, seringkali dalam berkomunikasi dan bermasyarakat, menjadi orang baik itu lebih efektif ketimbang menjadi orang yang 'benar'

Tentu saja konsep ini tidak berlaku pada semua hal, khusus pada hal hal yang cenderung bisa ditolerir saja, yang tidak akan membahayakan moral dan aturan spiritual.

Manusia itu bukan mahluk logis, mereka mahluk emosi.

Kecuali buat para saintis legit, nyaris nggak ada gunanya memberikan data dan fakta logis pada manusia yang default settingnya lebih memahami bahasa perasaan.

Apa itu bahasa perasaan?

Kebaikan, perhatian, mau mendengarkan dengan tulus, senyum, berbagi, tertawa bersama dan banyak lagi.

Akhlakul Karimah bahasa agamanya. Emotional Quotient bahasa kerennya.

Dan data paling ilmiah juga menunjukkan bahwa, orang orang yang sukses besar adalah mereka yang level akhlakul karimah atau EQ nya paling tinggi :)

Jadi, buat anda yang masih too much logic seperti saya dahulu, coba pelajari ulang secara logis dan ilmiah tentang apa yang saya sampaikan ini. Boleh baca bukunya Daniel Goleman atau para peneliti lainnya.

Buat saya, sederhana saja. Lebih berserah dan lebih imajinatif serta lebih banyak berbagi itu sangat super works banget buat saya.

Dan prinsip saya adalah:

'Apa yang works di dunia nyata, adalah bukti ilmiah yang paling super ilmiah'

Dan sebagaimana yang sering saya sebut dan tuliskan:

'Apapun yang berlebihan, selalu berbahaya'

Silakan SHARE jika dirasa berguna :)

Semoga bermanfaat dan Salam :)

Sabtu Siang Jelang Sore , 30 Juni 2018, Pekalongan.

Fahmy Arafat Daulay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar